Widget HTML Atas

101 Kata Bijak Goenawan Mohamad

Kata-kata mutiara Goenawan Mohamad bisa dijadikan motivasi dan inspirasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sebagai Sastrawan dan pendiri Majalah Tempo dari Indonesia, Goenawan Mohamad , Lahir Goenawan Soesatyo Mohamad 29 Juli 1941 (umur 81) Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Hindia Belanda , Pekerjaan Harian KAMI, Redaktur, (1969-1970). Majalah Horison, Redaktur, (1969-1974). Majalah Ekspres, Pemimpin Redaksi, (1970-1971). Majalah Swasembada, Pemimpin Redaksi, (1985). Tempo, Pendiri cum kolumnis (1971) - sekarang. , Dikenal atas Manifesto Kebudayaan, Catatan Pinggir, Tempo, Aliansi Jurnalis Independen, Partai Amanat Nasional, Jaringan Islam Liberal, Komunitas Salihara., Karya terkenal Majalah Tempo, beberapa buku, Suami/istri Widarti Djajadisastra, Anak Paramita Mohamad, Kerabat Kartono Mohamad, Penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma [note 1] Wertheim Award. [note 2] Anugerah sastra Dan David Prize. [note 3] .


Goenawan Soesatyo Mohamad (lahir 29 Juli 1941) adalah seorang sastrawan Indonesia. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo. Ia merupakan adik Kartono Mohamad, seorang dokter yang menjabat sebagai ketua IDI.


Sebagai orang yang berpengaruh, Goenawan Mohamad kerap mengeluarkan kata-kata bijak untuk generasi muda agar bisa meraih kesuksesan. Berikut kata-kata mutiara Goenawan Mohamad yang sudah kami rangkum:


101 Kata Bijak Goenawan Mohamad.

Memperoleh kearifan bukanlah cuma kegiatan teoritis, kita tak jadi bijaksana, bersih hati & bahagia karena membaca buku petunjuk yang judulnya bermula dengan "How to... "; kita harus terjun, kadang hanyut atau berenang dalam pengalaman, kita harus berada dalam laku dan perbuatan, dalam merenung dan merasakan: ujian dan hasil ditentukan di sana.
Kenapa kita sedih? Mungkin karena hati kita adalah Palestina, jawab saya, pernah merasakan bagaimana diringkas, diringkus, dan dibungkam didunia.
Barangkali karena tanah air memang bukan cuma sepotong geografi dan selintas sejarah; barangkali karena tanah air adalah juga sebuah panggilan, sebuah ide yang tiap kali berseru, suatu potensi yang minta diaktualisasikan, impian yang minta dijelmakan dari waktu ke waktu.
Dan topeng selalu berkaitan dengan semacam kepalsuan.
Betapa mahalnya ongkos pendidikan sekolah bagi sebuah negara miskin; tapi juga betapa omong kosongnya sistem sekolah itu untuk menghilangkan jurang kemiskinan tersebut.
Tak banyak orang yang menganggap kekuasaan sebagai borgol, lebih banyak yang melihatnya sebagai gelang emas yang bisa bikin orang iri.
Titik bahaya dari korupsi tak cuma dilihat persentase kebocoran uang tapi juga dari menipisnya kepercayaan kepada bersihnya aparatur negara secara keseluruhan.
Mungkin memang suatu ilusi untuk mengubah keadaan tanpa jalan politik; tapi sering perubahan politik hanya sekedar perubahan bentuk panggung dan nama aktor yang karena persis seperti cerita lama, jadinya sangat mengecewakan .
Dari pelajaran sejarah yang kini makin keras diingat: gedung-gedung bisa saja dibangun, bisnis maju, kota tampak indah, tapi si miskin tambah sengsara.
Hanya mereka yang mengenal trauma, mereka yang pernah dicakar sejarah, tahu benar bagaimana menerima kedahsyatan dan keterbatasan yang bernama manusia.
Dewasa memang satu proses pertemuan (kadang pahit) dengan diri sendiri.
Di negeri yang malang, seseorang yang memilih untuk jadi manusia akan tampak seperti malaikat; lucu dan menyedihkan, bukan?
Karena malam tak sepenuhnya tertembus, juga oleh kelelawar yang mabuk, taufan antah-berantah dan rembulan yang gila, harapan jangan-jangan bermula dari sikap yang tak mengeluh pada batas.
Barangkali karena tanah air memang bukan cuma sepotong geografi dan selintas sejarah. Barangkali karena tanah air adalah juga sebuah panggilan.
Hanya yang pernah bercita-cita tapi kemudian khilaf, hanya yang pernah bergelora tapi kemudian redup, yang tahu betapa dalam kesedihan & kearifannya: waktu adalah teman yang baik.
Sejarah sebenarnya tak mampu menyusun peta waktu, sebagaimana geografi tak bisa menyusun peta bumi dan penghuni.
Kemampuan membaca itu sebuah rahmat. Kegemaran membaca, sebuah kebahagiaan.
Setiap perjuangan memang menyediakan hal yang tak enak; tapi yang paling tak enak adalah bila kita bercermin hari ini dan melihat wajah musuh yang kemarin pagi kita perangi.
Sejarah terbentuk dari siklus. Riwayat berputar seperti roda gerobak sapi. Masa baik datang, tapi nanti masa buruk menggantikan.
Kalimat klise adalah topeng bagi mereka yang takut berkepribadian.
Kekalahan dalam politik tidak hanya pahit tapi juga mengandung resiko; di beberapa negeri, beda antara phak yang kalah dengan pihak yang menang sering ditandai oleh penjara atau kuburan massal.
Lebih baik agama ibarat garam: meresap, menyebar, dan memberikan manfaat di mana-mana, tanpa kelihatan.
Manusia memang bukan semuanya wali; tapi mungkin sejarah juga mengajari kita bahwa keadaan tak sempurna bukanlah dasar untuk terus-menerus menghalalkan kerakusan, keadaan tersebut justru untuk kesediaan ditegur, untuk mengerti rasa malu dan dosa.
Bahasa datang, dan kemudian penghancuran. Kini orang bisa dengan mudah menulis atau membaca kata-kata yang agresif, makian kasar, dan kalimat benci yang brutal di Internet, terutama dalam Twitter. Mungkin semua itu hanya ekspresi tak matang dan gagah-gagahan anak muda.
Bicaralah tentang diriku sebagaimana diriku, tak ada yang diperlunak ataupun dengan rasa dengki diinjak-injak.
Ada persamaan antara penemu alat-alat dan seorang penyusun konsep-konsep fisika: mereka bermula dari kebebasan jiwa, dan berlanjut dalam kreasi.
Demokrasi: ia melahirkan kuasa yang disepakati, dan ada proses bertukar pikiran sebelum kesepakatan. Ada kesabaran sebelum mulut ditutup dengan ikhlas.
Tapi manusia bukan cetakan tunggal mumi adam diatas bumi, yang ditaruh dalam gelas, tanpa sejarah, tanpa keterlanjutan kebudayaan.
Definisi kesepian yang sebenarnya adalah hidup tanpa tanggung jawab sosial.
Kita harus berada dalam perbuatan, dalam merenung dan merasakan dalam laku.
Stabilitas & persatuan tak seharusnya meniadakan tindakan pembersihan, juga di kalangan atas; seluruh bangsa perlu ikut belajar membersihkan diri, atau rusak oleh noda.
Suara, bahkan risalah protes yang keras, seperti halnya sastra, tak pernah cukup kuat dan cukup padu untuk mengubah dunia.
Makin tahu manusia tentang luasnya alam semesta, makin tampak bumi menyendiri dan manusia terpencil.
Modernisasi pada akhirnya memang suatu permainan kekuatan. Ada yang tergusur, ada yang menggusur.
Orang tak selalu baik, benar, berani. Tapi saya mengagumi tindakan yang baik, benar, berani, biarpun sebentar.
Tiap kata diletakkan dengan seksama, tetapi sekaligus tiap kalimat dijadikannya hidup, mengorak, meliuk, seperti tarian seorang koreograf.
Kita hidup di zaman deret. Insiden, spontanitas, kebetulan, semua dianggap omong kosong. Selalu ada rekayasa, katanya, karena kita tak bisa membayangkan sesuatu yang tak terduga-duga. Dengan kata lain: kita tak punya ide tentang sesuatu yang sama sekali bebas dari suatu deret, sesuatu yang sama sekali berbeda.
Membiarkan korupsi hari ini akan memusnahkan dasar keadilan, sampai ke generasi yg akan datang.
Apakah yang kita mengerti sebenarnya, tadi: kesederhanaan lagu tentang nasib, atau arus tak sadar pada tinta, darah dalam dawat, deretan kata-kata murung? Apa penanda, apa petanda?
Dunia ini merupakan sebuah latar belakang, dan dari sana tersusun sebuah atau beberapa buah norma, yang membatasi luasnya pilihan-pilihan yang bisa diambil.
Ketika bahasa bergerak kearah sifatnya yang lebih komunikatif dan bukan sifatnya yang ekspresif, pengalaman yang paling batin tak akan bisa diartikulasikan.
Saya harap saya bisa melatih keberanian bicara dengan melatih keberanian bertanya.
Sejarah memang kadang menakutkan untuk didengarkan; tapi sebuah bangsa perlu harga diri dari prestasi masa lampaunya sebagaimana ia juga perlu membersihkan diri dengan pengakuan dosa masa silamnya.
Ada orang pandai, selalu bisa merampungkan kerja dan kalau perlu ia mau mempertaruhkan nyawa; tapi adakah ia punya hati nurani, rupanya itu perkara lain.
Menghafal adalah cara yang susah payah untuk mengkoleksi informasi. Tapi dalam proses itu sesungguhnya kita tak dilatih menggunkan informasi itu buat memecahkan persoalan.
Orang akan hanya tidur bila ia menutup dirinya sendiri dari lalat yang bertanya.
Patriotisme memang sering seperti api lilin di dalam tong terang, tapi terkurung.
Planet ini hanya setitik noktah yang cepat hilang. Tapi pada saat yang sama, dalam keadaan yang praktis terabaikan itu, hilang dan ketiadaan bukanlah sesuatu yang luar biasa.
Sebuah kalimat akan menemukan maknanya dalam sebuah keinginan.
Tapi barangkali sejarah memang terdiri dari penemuan-penemuan separuh benar, atau separuh salah, hingga kemajuan terjadi.
Yang indah memang bisa menghibur selama-lamanya, membubuhkan luka selama-lamanya, meskipun puisi dan benda seni bisa lenyap.
Dan apa yang “lebih baik” dan “lebih buruk” bagi suatu zaman tak pernah ditentukan oleh setiap orang.
Ketidakjujuran adalah isyarat ketidakbebasan hati
Mereka tahu hasil 2 + 2 = 4 tapi tak tahu mengapa 2 x 2 juga sama dengan 4.
Sesungguhnyalah, manusia itu sebatang sungai yang tercemar, dan orang harus jadi sehamparan laut untuk menerima sebatang sungai yang tercemar tanpa ia sendiri jadi najis.
Keadilan bukanlah sekedar masalah kesalahan dan hukuman. Keadilan adalah lapisan humus dari ladang sebuah kebersamaan.
Kita tidak tahu pasti bagaimana persisnya kata-kata akan diberi harga, dan apakah sebuah isyarat akan sampai.
Pada masa ini sebuah teori sering terdengar seperti sebuah omong besar yang melalaikan kenyataan bahwa selalu ada hal kecil yang tak tercakup.
Pernah ada masanya kita tahu bahwa buku yang laris belum tentu buku yang bermutu.
Saya tak membenci orang-orang itu. Tapi saya membenci tindakan orang-orang itu.
Cinta, sebuah kata yang tak persis pengertiannya, kecuali ketika kita merasakan sakitnya.
Di dunia yang penuh sesak dan penuh orang lapar, seorang yang kekenyangan berarti merenggutkan nyawa yang lain.
Di negeri yang malang, seseorang yang memilih menjadi manusia akan tampak seperti malaikat.
Di ragamu tiang patah di kamar narkose, ampul tertebar: sisa sakit dan sejarah
Jangan-jangan Tuhan menyisipkan harapan bukan pada nasib dan masa depan, melainkan pada momen-momen kini dalam hidup.
Kejujuran ternyata dapat merupakan kebutuhan penting, bukan untuk ditepuktangani melainkan untuk penyelamatan jiwa.
Kemurnian barangkali memang tak ditakdirkan untuk dunia yang tak kekal, tak tunggal, ini.
Kita boleh takut tapi jangan takluk.
Masa depan pembrantasan korupsi sedang dipertaruhkan hari-hari ini. Indonesia yang lebih bersih atau Indonesia yang akan membusuk.
Negara adalah ibarat seekor ternak raksasa yang lamban geraknya karena ukurannya yang besar itu. Karena itu sang ternak memerlukan sang pengganggu agar digelitik jadi hidup.
Undang-undang lahir dari perundingan yang tak selamanya bersih.
Yang penting adalah percakapan dengan kebebasan. Juga kemerdekaan untuk mencari sendiri apa yang benar dan yang adil.
Banyak jawaban jadi tunggal dan mutlak, ketika banyak pertanyaan tak bisa diam dan kekejaman terus terjadi.
Bila orang hanya bisa berarti sesudah mati, itu tanda begitu buruk hidup hari ini.
Ketika tindakan besar nyaris tak ada, tindakan kecil tak ada salahnya dihargai.
Kita tahu, dalam hidup, biarpun ringkas selalu ada sesuatu yang mesti dilepas.
Mengingat kesewenang-wenangan masa lalu tak berarti dibelenggu masa lalu.
Mereka yang terbiasa dengan kekuasaan dan aturan memang umumnya sulit memahami puisi.
Pada akhirnya kita akan tahu bahwa kita bukan hakim yang terakhir.
Sebuah karya kesusasteraan, seperti pernah diibaratkan orang, ialah seorang Raksasa ajaib yang tak akan selesai-selesainya dicincang. Ia hanya bisa kita tangkap apabila kita sanggup menelannya, hingga kita pun menjadi besar secara ajaib karena mengepam Raksasa tadi dalam seluruh diri kita.
Sekolahpun keliru bila ia tidak tahu diri bahwa peranannya tidak seperti yang diduga selama ini. Ia bukan penentu gagal tidaknya seorang anak. Ia tak berhak menjadi perumus masa depan.
Seseorang pernah mengatakan, guna puisi adalah dengan hadir tanpa guna. Ia tak bisa dijual. Ia menegaskan tak semua bisa dijual.
Tentu saja demokrasi, seperti teater, sebenarnya bukanlah proses untuk menemukan kebenaran, melainkan untuk menghadapi kesalahan, dan mengatasinya, terkadang dengan sedih, terkadang dengan tawa.
Yang menyedihkan ialah bahwa tak selamanya terbukti dasar agama bisa menggerakkan hati untuk tidak menindas orang lain; bahkan prinsip itu sering membikin kita merasa paling benar & paling suci, dan seperti mendapatkan lisensi untuk melikuidasikan pendapat & kehadiran orang lain.
Ada sesuatu yang bukan hasil "pikiran", "perasaan", dan "ajaran agama" yang membuat orang berbuat baik untuk orang lain di dunia.
Agama, sebaliknya tidak mengklaim untuk jadi petunjuk praktis pengubah dunia.
Di Indonesia, lambang dengan mudah bisa jadi jimat, semangat bisa dengan gampang jadi takhayul.
Di setiap masa nampaknya selalu ada saat yang tak mudah untuk berbicara, tapi tidak gampang untuk diam.
Dunia jadi lebih menarik karena skandal terbongkar; dan mungkin menjadi lebih bersih, sedikit.
Ganjil dianggap antitesis dari genap, dan "genap" seakan-akan sama dengan sebuah pencapaian, lengkap, penuh, selesai.
Hidup begitu dekat dan Ketiadaan begitu megah.
Iman bukanlah mempercayai apa yang terang tanpa mempercayai apa yang gelap.
Kapital selalu ekspansionistis, akan butuh lebih luas wilayah yang belum dirambah mekanisme modal, sampai seluruhnya tertelan dan krisis akan terjadi.
Kegagalan kita untuk memaafkan, kesediaan kita untuk mengakui dendam, adalah penerimaan tentang batas.
Orang yang menjadikan kebenaran tergantung kepada salah seorang ahli ilmu saja, maka orang itu lebih dekat kepada pertentangan.
Pada akhirnya ialah bagaimana hidup dengan cukup informasi.
Saya tahu, penyair selalu mati direduksi orang ramai. Tapi agaknya puisinya selalu bisa membebaskan dirinya.
Sebab dalam doa, kita tahu, kita hanya debu.
Penulis harus paham apa yang ditulisnya. Jangan mengkhotbahi pembaca dan percaya akan ada orang yang tertarik dengan tulisan kita.
Di alismu langit berkabung dengan jerit hitam dua burung
Saya teringat sebaris kalimat Sitor Situmorang dalam sajak “Cathedral des Chartres”: “hidup dan kiamat bersatu padu.

Tidak ada komentar untuk "101 Kata Bijak Goenawan Mohamad"